Monday 4 March 2024

11 PRINSIP LATIHAN OLAHRAGA

๐Ÿ’ฅ๐Ÿ’ฅ๐Ÿ’ฅ  11 PRINSIP LATIHAN OLAHRAGA  ๐Ÿ’ฅ๐Ÿ’ฅ๐Ÿ’ฅ

A. Latihan๐Ÿ’ซ

๐ŸƒTraining is a process by which an athlete is prepared for the highest level of performance possible [1]. Dalam artian, Bompa mengemukakan bahwa latihan adalah suatu proses di mana seorang atlet dipersiapkan untuk mencapai tingkat kinerja sebaik mungkin atau yang paling tinggi. Seseorang dapat meningkatkan kemampuan mereka dan memperbaiki teknik gerakan mereka sesuai dengan jenis olahraga yang mereka sukai dengan berlatih fisik secara teratur dan terukur. Untuk meningkatkan kemampuan fisik, latihan harus dilakukan secara sistematis dan terarah dengan tujuan meningkatkan kesegaran fisik dan kemampuan fungsional dari berbagai sistem tubuh sehingga gerakan olahraga dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.

๐ŸƒDapat dijelaskan bahwa latihan adalah hasil dari latihan yang direncanakan dan diukur yang melibatkan fungsi fisik, psikologis, dan sosiologis yang dilakukan berulang kali dalam jangka waktu yang lama dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan kemampuan fisik serta mencapai prestasi olahraga. Latihan yang efektif selalu dimulai dengan latihan peregangan (stretching), latihan pemanasan (warming up), latihan inti, latihan pendinginan (cooling down) dan diakhiri dengan latihan peregangan.

๐ŸƒLatihan olahraga adalah jenis pelatihan khusus yang dirancang untuk meningkatkan kebugaran dan kemampuan atlet untuk tampil dalam olahraga tertentu. Latihan olahraga didasarkan pada prinsip ilmiah dan dimaksudkan untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas kinerja yang lebih tinggi dalam berbagai kegiatan olahraga. Diantaranya: latihan kekuatan, pengondisian, latihan korektif dan restoratif, dan latihan kardiovaskular. Selain itu  mencakup juga pelatihan kesehatan mental dan psikologis, serta bimbingan tentang kesehatan gizi [2].

B. Tujuan Latihan๐Ÿ’ซ

๐Ÿ‘‰Baik pelatih maupun atlet pasti memiliki tujuan saat melakukan pelatihan. Pada dasarnya, latihan adalah proses yang dilakukan oleh seorang atlet untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dengan tujuan untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik [3]. Setiap atlet berlatih dengan tujuan untuk mencapai prestasi terbaiknya.

๐Ÿ‘‰Secara umum, tujuan dan sasaran latihan adalah: 

  1. Meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum dan menyeluruh, 
  2. Mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang khusus, 
  3. Menambah dan menyempurnakan keterampilan teknik, 
  4. Mengembangkan dan menyempurnakan strategi, taktik, dan pola bermain, dan 
  5. Meningkatkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding. 

๐Ÿ‘‰Proses latihan memiliki tujuan memperhatikan situasi dan kondisi, sumber belajar dan materi latihan serta karakteristik atlet ke dalam bentuk strategi latihan agar dapat tercapainya tujuan latihan yang maksimal, sehingga seorang pelatih harus dapat menghubungkan antara strategi latihan, kebutuhan atlet, serta materi latihan beserta sumbernya yang saling berkaitan agar tujuan latihan yang dicapai dapat maksimal. Karena latihan dilakukan secara berkala, adalah bijaksana untuk mengubah tingkat beban yang diberikan kepada tubuh sehingga tubuh dapat beregenerasi dan menghindari latihan berlebihan yang menyebabkan penurunan kinerja [4].

๐Ÿ‘‰Beberapa tujuan pelatihan adalah teknis atau taktis, dan jenis latihan apa yang diperlukan untuk berolahraga atau tergantung pada kebutuhan olahraga tersebut. Untuk membuatnya lebih mudah bagi atlit untuk beradaptasi, tahapan teknis dan taktis sebagian besar menggunakan latihan olahraga khusus yang sesuai dengan fisiologi setiap atlit dan zona intensitasnya.


C. Prinsip-Prinsip Latihan๐Ÿ’ซ

๐Ÿ’Sejak lama diyakini bahwa prinsip latihan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan seseorang, khususnya di bidang olahraga. Jika prinsip-prinsip latihan ini diterapkan dengan benar dan tepat, latihan tersebut akan mampu mencapai hasil yang optimal. Prinsip-prinsip latihan sudah sejak lama diyakini mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan seseorang, khususnya di bidang olahraga, dan jika diterapkan dengan benar dan dengan tepat, prinsip-prinsip latihan ini akan mampu mencapai hasil yang optimal dari pelatihan yang dilakukan.

๐Ÿ’Menurut beberapa ahli, prinsip-prinsip ini dapat dirangkum menjadi sebelas prinsip utama latihan: ๐Ÿ”–Prinsip beban lebih (overload), ๐Ÿ”–Prinsip pemulihan asal (recovery), ๐Ÿ”–Prinsip spesialisasi (spesifisitas), ๐Ÿ”–Prinsip variasi (variation), ๐Ÿ”–Prinsip menambah beban latihan secara progresif (progression), ๐Ÿ”–Prinsip menghindari beban latihan yang berlebihan (overtraining), ๐Ÿ”–Prinsip partisipasi aktif dalam latihan, prinsip perkembangan multilateral (Multilateral Development), ๐Ÿ”–Prinsip proses latihan menggunakan model, ๐Ÿ”–Prinsip reversibilitas (reversibility), dan terakhir ๐Ÿ”–Prinsip individualisasi (individual). Masing-masing prinsip latihan dapat diuraikan secara rinci di bawah ini, yaitu:

1. Prinsip Beban Lebih (Overload) ๐Ÿ’Ž

๐ŸŒSelain peningkatan kapasitas kebugaran, intensitas kerja harus meningkat secara bertahap melebihi standar program latihan.  memberi beban latihan yang lebih besar daripada rutinitas kegiatan sehari-hari secara teratur untuk membantu sistem fisiologis tubuh menyesuaikan dengan tugas yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan semakin tinggi. 

๐ŸŽฏPhysical training is beneficial only as long as it overloads the body in such a way that adaption is stimulated. If the stimulus does not induce a sufficient physiological challenge, no increase in adaptation can be expected. On the other hand, if the training load is very high, intolerable, and undertaken for an excessively long period of time, injury or overtraining may occur [5]. Jika latihan dilakukan dengan beban yang tepat, penambahan beban berlebih akan menguntungkan jika dilakukan dengan dosis yang tepat. Jika beban yang diberikan kurang atau rendah, itu tidak akan merangsang proses fisiologis tubuh, dan jika beban yang diberikan terlalu tinggi dan dilakukan dalam jangka waktu yang lama, itu akan menyebabkan cedera dan overtraining. 

2. Prinsip Pulih Asal (Recovery๐Ÿ’Ž

๐ŸŽฏRecovery is the process needed for repairing damage caused by either training or competition [6], dapat dijelaskan bahwa recovery proses yang digunakan untuk memperbaiki kerusakan tubuh akibat latihan atau kompetisi. Untuk mencapai tujuan pelatihan, pelatih harus sangat memperhatikan frekuensi masa pemulihan. Jika diikuti dengan pemulihan yang memadai, itu merupakan bagian penting dari periodisasi pelatihan yang dimaksudkan untuk mendorong adaptasi yang positif, yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan kinerja (efek superkompensasi) [7].

๐ŸšดSeringkali diabaikan bahwa pemulihan adalah bagian penting dari pelatihan olahraga, serta menjaga keseimbangan antara tekanan pelatihan dan non-pelatihan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memasukkan strategi pemulihan yang sehat ke dalam rencana pelatihan. Atlet berisiko mengalami cedera fisik dan psikologis serta kelelahan dalam jangka waktu yang singkat jika pelatih atau atlet tidak memperhatikan prinsip recovery atau istirahat.

๐Ÿšดmenyatakan bahwa ketika cedera dan recovery mendera, kita tahu bahwa faktor fisik dapat memelihara seorang atlet kembali sehat [8]. Namun, komponen psikologis seperti agresi, depresi, dan harga diri juga dapat memengaruhi kecepatan pemulihan. Pemulihan mencakup pemulihan cadangan nutrisi dan energi, kembali ke fungsi fisiologis normal, mengurangi nyeri otot dan menghilangkan gejala psikologis (iritabilitas, disorientasi, dan ketidakmampuan berkonsentrasi) yang terkait dengan kelelahan ekstrem. 

๐ŸšดPeriode pemulihan setelah latihan berat adalah bagian penting dari fase adaptasi ekspresi gen yang diperlukan untuk pertumbuhan mitokondria pada otot. Ahli fisiologi mengatakan bahwa dengan latihan berat, detak jantung harus mencapai 75% hingga 85% dari detak jantung aman. Menurut ahli fisiologi, pemulihan intensitas rendah berarti bekerja pada denyut jantung antara lima puluh hingga enam puluh persen dari maksimumnya. Proses pemulihan berkisar antara satu hingga tujuh hari selama peradangan dan tiga hingga minggu untuk proliferasi jaringan ikat.

3. Prinsip Spesialisasi (Specificity๐Ÿ’Ž

๐ŸŽฏThe specificity principle asserts that the best way to develop physical fitness for your sport is to train the energy systems and muscles as closely as possible to the way they are used in your sport [9]. Latihan yang paling khusus untuk olahraga tersebut menghasilkan kinerja terbaik. Oleh karena itu, berlari, berenang, dan mengangkat beban adalah latihan yang paling efektif. Khususan latihan, juga dikenal sebagai spesialisasi latihan, berarti bahwa latihan harus dikhususkan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari setiap cabang olahraga. Pelatihan harus benar-benar mirip dengan kegiatan olahraga yang sesungguhnya. Misalnya, atlet yang melakukan lari cepat akan mencapai hasil yang lebih baik dari latihan pliometrik daripada latihan beban.

๐ŸŽฏTraining the specificity of competing in a certain event is clearly important, not only for developing the necessary physiological capacities but also for the technical skills, the mental skills, the pacing, and maintenance of great technique under fatigue [10]. Spesialisasi olahraga meningkatkan kemampuan fisik dan mental, serta kemampuan untuk membuat keputusan dan menjaga penampilan saat kelelahan.

๐Ÿ’‚Adaptasi saraf pada suatu cabang olahraga dapat dicapai melalui proses yang dikenal sebagai spesialisasi. Dalam olahraga, sistem energi dominan harus dipertimbangkan dengan cermat. Selama latihan, pola gerakan utama yang digunakan dalam olahraga atau keterampilan teknik dasar harus diikuti dan difokuskan untuk meningkatkan kekuatan penggerak utama.

4. Prinsip Variasi (Variation๐Ÿ’Ž

๐Ÿ‘‰Pelatihan yang membutuhkan waktu yang sangat lama, volume, intensitas, dan frekuensi yang terus meningkat dapat menyebabkan jenuh pada atlet atau orang yang melakukan latihan dengan gerakan yang tidak bergerak dan berulang-ulang. Program latihan yang baik harus disusun bervariasi untuk menghindari kejenuhan, keenggangan, dan kesehatan yang merupakan kelelahan secara fisiologis. Atlet dapat menghadapi masalah besar jika menjadi kebosanan karena latihan yang monoton karena dapat menghambat pertumbuhan fisik dan mental mereka, akhirnya dapat menghancurkan rencana latihan yang telah direncanakan. 

๐Ÿ‘‰Memasukkan variasi latihan ke dalam rutinitas pelatihan adalah cara terbaik untuk mengatasi tantangan ini. Pelatih harus mempertimbangkan metode yang digunakan untuk membuat variasi latihan. Variasi harus direncanakan secara sistematis untuk mengukur efek variasi; jika tidak, ada risiko staleness dan overtraining yang besar.

5. Prinsip Menambah Beban Latihan secara Progresif (Progression๐Ÿ’Ž

⏳Latihan pada dasarnya adalah proses sistematis dari hasil latihan yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian meningkatkan beban latihan. Seseorang yang melakukan latihan, pemberian beban harus ditingkatkan secara bertahap, teratur, dan konsisten sampai mereka mencapai tingkat beban yang paling tinggi. Pelatih harus memahami konsep latihan menambah beban secara progresif ke dalam program latihan dan diterapkan menjelang pertandingan. Peningkatan beban secara progresif berarti meningkatkan beban secara bertahap dan konsisten.

Pemberian beban latihan ditanggapi oleh tubuh dalam bentuk respon [11]. Hanya dengan terus menerapkan beban pelatihan yang lebih tinggi yang dapat dicapai adaptasi dan kinerja yang lebih baik. Atlet mengalami perubahan fisik, fisiologis, dan psikologis ketika mereka melakukan latihan dengan beban yang lebih besar secara bertahap dan bertahap dalam waktu yang lama. Ini termasuk perubahan dalam koordinasi otot-otot, kemampuan kognitif karena berusaha mengatasi tekanan yang dihasilkan dari beban latihan yang lebih besar, dan fungsi sistem saraf dan reaksi.

6. Menghindari Beban Latihan Berlebihan (Overtraining๐Ÿ’Ž

๐Ÿ’ชOvertraining adalah akumulasi dari stresor pelatihan dan non-pelatihan yang memiliki dampak jangka panjang yang merugikan dimana efek jangka pada kinerja dan periode pemulihan yang mungkin memakan waktu beberapa minggu hingga bulan [12]. Overtraining is often defined as an the imbalance between training and recovery [13].  Overtraining atau overreach terjadi ketika atlet melakukan latihan dengan beban yang berlebihan dan tidak menyeimbangkan dengan waktu istirahat yang cukup setelah latihan. Banyak atlet dan pelatih masih percaya bahwa there is no pain, there is no gain. Over-training terjadi ketika atlet bekerja terlalu keras untuk meningkatkan performa dan berlatih melebihi kemampuan tubuh untuk pulih [14]

๐Ÿ’ชOvertraining biasanya ditandai dengan penurunan kinerja olahraga tertentu dan keluhan vegetatif yang nyata, seperti perubahan rangsangan psikis, gangguan tidur, ketidakstabilan emosi, dan masalah organ tanpa penyakit organik. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah serupa dengan yang diamati pada atlet dewasa yang mengalami overtraining: peningkatan persepsi upaya selama latihan, infeksi saluran pernapasan atas, nyeri otot, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, gangguan suasana hati, cepat amarah, penurunan minat dalam pelatihan dan kompetisi, penurunan kepercayaan diri, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.

๐Ÿ’ชFaktor-faktor berikut menyebabkan atlet mengalami overtraining

  1. Atlet menerima beban latihan yang berlebihan secara terus menerus tanpa memperhatikan prinsip interval
  2. Atlet menerima latihan intensif dengan cepat setelah lama tidak berlatih. 
  3. Pengaturan proporsi latihan dari ekstensif ke intensif tidak tepat. 
  4. Atlet terlalu banyak mengikuti pertandingan berat dengan jadwal yang padat. 
  5. Atlet menerima beban latihan dengan cara melompat.

7. Prinsip Partisipasi Aktif dalam Latihan ๐Ÿ’Ž

๐Ÿ‘ŠPelatih harus sering berbicara dengan atletnya tentang kemajuan mereka untuk meningkatkan kesungguhan dan partisipasi aktif mereka dalam latihan. Setiap individu memiliki kemampuan, potensi, karakter belajar, dan spesifikasi olahraga yang unik. Atlet akan memahami kemampuan yang baik dan buruk, apa yang perlu diperbaiki, dan cara memperbaiki hasil. 

๐Ÿ‘ŠKualitas paling penting yang dimiliki atlet yang sukses adalah keinginan untuk mengatur semua yang telah mereka pelajari dan kerjakan, serta keinginan untuk membawa kepribadiannya untuk membuahkan hasil dalam kesempatan yang diwakili oleh tantangan arena. Atlet, misalnya, akan memperhatikan apa yang dia lakukan karena masalah pribadi dapat mempengaruhi kemampuan mereka. Dia akan berbagi perasaan ini dengan pelatihnya sehingga mereka dapat bekerja sama untuk menemukan solusi untuk masalah. 

๐Ÿ‘ŠAtlet harus percaya bahwa program dan pelatih membantu mereka meningkatkan keterampilan, kemampuan gerak, dan psikologis mereka untuk mencapai tujuan yang lebih baik atau menjadi pemenang. Partisipasi aktif tidak terbatas pada latihan; seorang atlet dapat melakukan aktivitas tanpa pengawasan dan perhatian pelatih. Atlet dapat melakukan kegiatan dan bersosialisasi di luar waktu latihan untuk merasa puas dan tenang.

๐Ÿ‘ŠNamun, atlet harus memperhatikan kesehatan tubuhnya dengan mengikuti pola makan yang sehat dan istirahat yang teratur. Atlet diminta untuk membuat keputusan yang memengaruhi kesehatan dan gaya hidupnya. Mereka juga harus tetap disiplin dan fokus pada tujuan pelatihan mereka. Mengejar keunggulan kompetitif adalah tujuan utama atlet dalam olahraga. Atlet kemudian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi.

8. Prinsip Perkembangan Multilateral (Multilateral Development๐Ÿ’Ž 

๐ŸŽฏMultilateral development is a basic requirement for reaching a highly specialized level of training [15]. Langkah pertama yang sangat penting dalam pengembangan atlet adalah perkembangan multilateral, atau perkembangan fisik secara keseluruhan; prinsipnya mengacu pada perkembangan keseluruhan seseorang dari berbagai macam aspek seperti kekuatan, kelincahan, daya tahan, dan koordinasi gerakan, yang akan mempengaruhi karir seorang atlet di masa depan.

๐Ÿ™†Banyak bidang, termasuk pendidikan dan pekerjaan, membutuhkan perkembangan multilateral. Prinsip multilateral akan diterapkan pada latihan anak-anak dan junior. Ini berarti bahwa anak-anak harus diberi kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai jenis olahraga untuk mengembangkan aspek fisik, mental, dan sosial mereka secara multilateral. 

๐Ÿ™†Atlet akan dapat mencapai persiapan fisik dan penguasaan teknis yang jauh lebih baik jika pelatihan diurutkan dengan tepat dan dimulai dengan dasar pelatihan multilateral di awal pengembangan mereka. Pada akhirnya, bahkan ketika pelatihan multilateral berkembang dan sangat matang saat masuk ke tingkat spesialisasi, atlet akan mencapai tingkat kinerja yang jauh lebih baik. Hasil penelitian mendukung anggapan bahwa keberhasilan atletik ditingkatkan dengan landasan yang kuat yang dibangun melalui pendekatan multilateral.

9. Prinsip proses latihan menggunakan model ๐Ÿ’Ž

๐ŸŽฎModel merupakan suatu bentuk tiruan dari aslinya dengan tujuan memperoleh sesuatu yang ideal dengan memperhatikan faktor fisiologis, fasilitas, dan lingkungan sosial atlet. Disebut sebagai model tiruan karena model latihan harus semirip mungkin dengan gerak keterampilan khusus pada cabang olahraga yang dipilih. Model terdiri dari bagian khusus dari fenomena yang diamati atau diselidiki, dan biasanya didefinisikan sebagai replika. Variabel-variabel yang difokuskan dan berkorelasi dalam satu metode gerak keterampilan olahraga adalah komponen khusus yang dimaksudkan. 

๐ŸŽฎPrinsip-prinsip model membiarkan pelatih membuat atau mengembangkan model latihan untuk membantu dan meningkatkan kinerja atlit mereka sehingga mereka dapat mencapai tujuan prestasi terbaik mereka. Sangat penting untuk memahami bahwa kualitas motorik dan kemampuan fisik beradaptasi dengan kecepatan yang berbeda. Model pelatihan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan atlet agar mereka dapat mencapai tingkat kinerja terbaik yang mungkin mereka capai. Pada saat ini, model faktor pelatihan utama telah ditetapkan. Seorang pelatih dan atlet harus memahami prinsip-prinsip dasar model latihan, termasuk mengembangkan kekuatan, intensitas, volume, frekuensi, dan jumlah pengulangan yang diperlukan untuk mendorong adaptasi fisik dan mental yang sesuai. Selain itu, elemen taktis, teknis, dan strategis model pelatihan ditetapkan dan diintegrasikan. 

๐ŸŽฎUntuk mencapai tujuan latihan yang efektif, model latihan harus mempertimbangkan atlet sebagai subjek latihan, mengorganisasi latihan, menyampaikan latihan, dan mengelola latihan dengan mempertimbangkan faktor tujuan latihan dan hambatan latihan. Untuk pengembangan atlet, ada model pelatihan khusus yang dapat digunakan untuk menerapkan, menganalisis, menilai, dan mengubah rencana pelatihan berdasarkan parameter kinerja dan fisiologis. Namun, anatomi, fisiologi, dan psikologi atlet mungkin perlu disesuaikan sedikit. 


10. Prinsip reversibilitas (Reversibility๐Ÿ’Ž

๐Ÿ‘„Hasil latihan yang berat ataupun susah payah yang telah di dapatkan akan dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum kita melakukan latihan, Hal itu terjadi apabila hasil latihan yang telah kita dapatkan tidak di jaga atau dirawat dengan baik. Hal ini wajar karena adanya adaptasi fisiologi pada tubuh. Jika intensitas, lama, dan frekuensi dikurangi, menurut prinsip dasar hilangnya pelan. Jika waktu pemulihan awal tidak dirawat, hasil latihan akan kembali ke tingkat sebelumnya. Oleh karena itu, latihan harus berkesinambungan untuk mempertahankan kondisi. Tidak aktif dapat mengurangi kemampuan, tetapi aktif dapat meningkatkannya [16] [17] [18] [19]

๐Ÿ‘„Deskripsi: Pengamatan bahwa penghentian pembebanan jaringan mengakibatkan hilangnya adaptasi kebugaran/kinerja yang bermanfaat. Konsep: Tubuh beradaptasi dengan penghentian aktivitas tertentu dan beban latihan yang tidak memadai dengan atrofi dan penurunan kebugaran/kinerja Contoh: Seorang pembangun menyesali kehilangan ototnya setelah mengambil liburan 2 minggu [20].


11. Prinsip individualisasi (individual๐Ÿ’Ž

๐ŸˆSalah satu syarat penting untuk pelatihan modern adalah individualisasi. Seorang pelatih harus mempertimbangkan kemampuan, potensi, dan karakteristik pembelajaran atlet serta tuntutan olahraga atlet, terlepas dari tingkat kinerjanya. Ketika membuat program latihan untuk setiap atlet, aspek fisik dan psikologis masing-masing harus dipertimbangkan.

๐ŸˆUntuk menerapkan prinsip individualisasi, pertama-tama perlu menentukan mengapa orang memerlukan pelatihan. Alasan ini sangat memengaruhi perkembangan program karena ini sama pentingnya menentukan intensitas, volume, dan frekuensi latihan, serta bagaimana bagaimana latihan tersebut dilakukan. Sayangnya, banyak orang tidak mempertimbangkan langkah pertama yang penting ini dan langsung saja melakukan olahraga. Tidak dapat mengidentifikasi alasan utama pelatihan dapat menyebabkan program yang tidak sesuai, yang dapat menyebabkan frustrasi. 

๐Ÿ“ฃPerlu diingat bahwa untuk menjamin keamanan dan efektivitas program, prinsip-prinsip dasar pelatihan  beban lebih (overload), pemulihan awal (recovery), spesialisasi (spesifisitas), variasi (variation), progresif menambah beban latihan (progression), menghindari beban latihan yang berlebihan (overtraining), partisipasi aktif dalam latihan, prinsip perkembangan multilateral (multilateral development), prinsip proses latihan menggunakan model, prinsip reversibilitas (reversibilitas), dan terakhir, prinsip individuisasi (individualization) ini harus diterapkan dan terlepas dari tujuan pelatihan atau peralatan yang digunakan. Kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip ini tidak hanya dapat mengakibatkan cedera, tetapi juga dapat mengakibatkan hasil latihan yang tidak memadai atau tidak sesuai [21] 


DAFTAR PUSTAKA

[1] T. O. Bompa and G. G. Haff, Periodization: Theory and Methodology of Training, 6th Edition, 5th ed., vol. 51, no. 4. the United States of America: Human Kinetics, 2019. doi: 10.1249/01.mss.0000554581.71065.23.

[2] M. S. Anwar, Health and Physical Education: Textbook for Class IX, First Edit. New Delhi: National Council of Educational Research and Training, 2016. [Online]. Available: http://www.ncert.nic.in/publication/Miscellaneous/pdf_files/iehped101.pdf

[3] R. Yenes and D. Leowanda, “Latihan Plyometrik Front Jump dan Side Jump Tehadap Daya Ledak Otot Tungkai Atlet Bola Voli Perbedaan Pengaruh Differences In The Effect Of Plyometric Exercise Front Jump And Side Jump Against The Explosion Of Limbs In The Volleyball,” vol. 4, 2019.

[4] B.-V. Brahms, Badminton Handbook. Meyer & Meyer Sport (UK) Ltd., 2010.

[5] T. O. and G. G. H. Bompa, Periodezation, Theory and Methodology of Training. 2000.

[6] V. Gambetta, Athletics Development : the art & science of functional sports conditioning. United States: Human Kinetics, 2007.

[7] F. C. Mooren, “Encyclopedia of Exercise Medicine in Health and Disease,” in Encyclopedia of Exercise Medicine in Health and Disease, Frank C. Mooren, Ed. Germany: Springer, 2012, p. 931. doi: 10.1007/978-3-540-29807-6.

[8] M. E. Block, A Teacher’s Guide to Including Students with Disabilities in General Physical Education, IV. Paul H. Brookes Publishing Co., Inc., 2016.

[9] S. F. Ayers and M. J. Sariscsany, Physical Education for Lifelong Fitness: The Physical Best Teacher’s Guide, Third Edit. Europe: Human Kinetics, 2011.

[10] P. Laursen and M. Buchheit, Science and application of high-intensity interval training: solutions to the programming puzzle. the United States of Amer i ca: Human Kinetics, 2019.

[11] C. M. Palar, D. Wongkar, and S. H. R. Ticoalu, “Manfaat Latihan Olahraga Aerobik Terhadap Kebugaran Fisik Manusia,” J. e-Biomedik, vol. 3, no. 1, pp. 316–321, 2015, doi: 10.35790/ebm.3.1.2015.7127.

[12] R. Winsley and N. Matos, “Overtraining and Elite Young Athletes,” in The Elite Young Athlete, vol. 56, no. November, 2015, pp. 97–105. doi: 10.1159/000320636.

[13] Powers Scott K. and E. Howley, Exercise Physiology: Theory and Application to Fitness and Performance, Tenth Edit. United States: McGraw-Hill Education, 2018. [Online]. Available: https://www.pdfdrive.com/exercise-physiology-theory-and-application-to-fitness-and-performance-d189293581.html

[14] S. M. Fritz, Sports & Exercise Massage, 2nd editio. Elsevier Mosby, 2013. [Online]. Available: http://evolve.elsevier.com/Fritz/sportsmassage

[15] T. O. Bompa, Periodization Training for Sports: program for peak strength in 35 sport, 3rd ed. United States: Human Kinetics, 1999.

[16] A. H. Goldfarb, Exercise physiology: Human bioenergetics and its application, vol. 37, no. 2. Mayfield publishing company, 1985. doi: 10.1080/00336297.1985.10483837.

[17] T. D. Noakes, “Time to move beyond a brainless exercise physiology: The evidence for complex regulation of human exercise performance,” Appl. Physiol. Nutr. Metab., vol. 36, no. 1, pp. 23–35, 2011, doi: 10.1139/H10-082.

[18] D. A. Burton, K. Stokes, and G. M. Hall, “Physiological effects of exercise,” Contin. Educ. Anaesthesia, Crit. Care Pain, vol. 4, no. 6, pp. 185–188, 2004, doi: 10.1093/bjaceaccp/mkh050.

[19] S. Volianitis and H. B. Nielsen, “Overtraining,” 2007.

[20] K. Kasper, “Sports Training Principles,” Curr. Sports Med. Rep., vol. 18, no. 4, pp. 95–96, 2019, doi: 10.1249/JSR.0000000000000576.

[21] J. Cissik and J. Dawes, Maximum interval training. 2015.

Wednesday 3 January 2024

OUTDOOR ACTIVITY

๐ŸŒด๐ŸŒด OUTDOOR ACTIVITY ๐ŸŒด๐ŸŒด

Pendidikan luar ruangan telah lama dianggap sebagai cara yang efektif untuk memperkenalkan siswa pada dunia modern [1]. Outdoor activity disajikan sebagai cara untuk "kembali ke alam,  terhubung dengan alam, dan  mengembangkan kepedulian dan sikap terhadap lingkungan" [2].  Anak-anak yang aktif bermain di luar ruangan mempunyai kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan alamnya dan belajar tentang alam [3]. Aktivitas di luar ruangan menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara lingkungan dan cara pandang [4]. Kurikulum sekolah mewajibkan guru untuk memberikan izin kepada siswa, orang tua, dan pengelola sekolah untuk mengikuti berbagai kegiatan di luar ruangan yang memperhitungkan kegiatan sekolah biasa [5]. ๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป

Pembelajaran di luar ruangan mengacu pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran di luar ruangan yang berkaitan dengan isi pembelajaran tertentu [6]. Steiger menegaskan bahwa Pendidikan luar ruangan dirancang dengan baik dan dilaksanakan secara efektif, berdasarkan kurikulum saat ini atau masa depan, dan memberikan banyak kesempatan kepada pelajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, perilaku sosial, dan hubungan antara siswa dan guru [7]. Selain itu, hal ini memberikan pengalaman dunia nyata, yang menambah nilai pada praktik pembelajaran harian siswa. ๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท

Pendidikan luar ruangan biasanya ditemukan dalam  ilmu alam dan sosial, namun juga dapat menjadi strategi  geografi yang penting untuk ruang kelas humaniora. Piagam Internasional Pendidikan Geografi yang direvisi pada tahun 2016 menekankan pentingnya pendidikan geografi dalam kehidupan  abad ke-21 [8]. Piagam ini juga berfokus pada keberlanjutan, dunia yang terhubung, dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan alam dan orang lain. Jika kita ingin mendidik masyarakat yang bertanggung jawab untuk abad ke-21, akan bermanfaat jika kita memperluas pengetahuan geografis generasi muda [9]. ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ

Gambar 1. Anak-anak belajar dan bermain diluar ruangan

Penelitian di sekolah dan  perkemahan musim panas menunjukkan bahwa mengerjakan tugas sains di lingkungan alam (seperti taman dan hutan yang rimbun) meningkatkan minat anak terhadap sains dengan memberikan tantangan yang terbuka dan beragam serta kondisi baru dan mengejutkan [10]. Namun, masih sedikit penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak dan bagaimana guru dapat mendorong minat anak-anak terhadap sains  dan mempertahankannya di lingkungan alam terbuka [11]. Guna pengembangan dan memperdalam, minat memerlukan dukungan dari orang lain. Sangat penting untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana minat anak-anak muda dalam sains berkembang di lingkungan luar ruangan alami, serta cara guru dapat membantu perkembangan ini [12]๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Anak-anak di Taman Kanak-Kanak (4 hingga 6 tahun) dan Sekolah Dasar (2 hingga 4 tahun) di Norwegia belajar menjawab pertanyaan dan mengembangkan keterampilan eksplorasi dengan berinteraksi dengan alam dan unsur-unsurnya (tanaman, serangga, batu, dll.). Berpartisipasi dalam diskusi akan sangat membantu anak-anak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas di lingkungan alam luar ruangan dapat meningkatkan minat anak terhadap sains [13] ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ 

Perez menyelidiki bagaimana guru dapat membantu anak-anak menumbuhkan minat mereka dalam topik-topik tersebut selama kegiatan eksplorasi, serta bagaimana minat anak-anak ditunjukkan dalam konteks ini.  Dalam artikel ini, yang dimaksud dengan "GURU" mencakup guru taman kanak-kanak dan sekolah, tetapi "kegiatan penyelidikan ilmiah" adalah kegiatan yang memberikan kebebasan tertentu kepada anak-anak [14]. Guru selalu terbuka dan memberikan kemudahan bagi anak-anak untuk mengekspresikan idenya serta mendalami topik dan  materi sains [15]. ๐Ÿ‘ฆ๐Ÿ‘ง

Kegiatan di luar kelas sangat membantu anak menemukan pembelajarannya sendiri. Oleh karena itu, unsur permainan biasanya sangat erat kaitannya dengan hal ini. Arti dari Game itu sendiri  adalah bermain, kita “belajar menggunakan benda-benda di sekitar kita dan beradaptasi dengan lingkungan kita bersama dengan orang-orang di sekitar kita”. Bermain adalah sarana pembelajaran yang alami, karena pertumbuhan pribadi juga dapat diamati melalui bermain. Bermain bukan hanya aktivitas biologis; bermain juga dapat digunakan untuk mencapai tujuan sosial dan budaya. Game adalah bentuk permainan, yang pada dasarnya bertujuan untuk mempromosikan kesenangan, kegembiraan, rekreasi, dan sejenisnya; Nilai utama mereka, singkatnya, adalah hedonis [16]. ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

Selain untuk menunjang aktivitas, bermain juga membantu memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru dari luar [17]. Hal ini dimungkinkan mengingat keterlibatan langsung individu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika rekreasi biasanya menjadi jalan yang penting untuk mengembangkan potensi kreatif seseorang. Membuat permainan edukatif di luar kelas merupakan upaya untuk memenuhi semua kebutuhan penting anak-anak di luar ruangan dan meningkatkan hasil belajar yang lebih baik. ๐Ÿ†๐Ÿ†

Bermain pada hakikatnya merupakan proses belajar berdasarkan pengalaman yang dialami dan dirasakan langsung oleh pelakunya. Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di kelas yang penekanannya hanya pada satu aspek, misalnya aspek kognitif. Namun kegiatan pembelajaran yang efektif terjadi melalui pembelajaran langsung, dimana siswa secara langsung merasakan dan mengalami  apa yang telah dipelajarinya [18]. Efek dan dampak yang ditimbulkan oleh proses ini lebih mudah diserap, dipahami, dan diingat lebih lama dibandingkan jika hanya mengerjakan satu aspek saja. ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

Bermain pada hakikatnya adalah proses pembelajaran berbasis pengalaman yang dialami dan dirasakan langsung oleh siswa. Bermain itu asyik, tapi buang-buang waktu dan tenaga. Akan tetapi, kegiatan belajar jika dipadukan dengan kegiatan bermain, artinya keduanya bisa kolaborasikan bersama-sama sehingga terciptalah sebuah permainan edukatif. Pendidikan saat ini telah menggunakan bermain sebagai salah satu metode belajar dan Latihan [19]. Melihat konsep-konsep di atas, maka kegiatan bermain di luar ruangan adalah kegiatan yang dilakukan di luar kelas, menggunakan bentuk-bentuk permainan sebagai sarana belajar, menggunakan olah raga sebagai bentuk interaksi sosial, menghargai pendapat orang lain dan belajar empati, belajar bekerja sama dalam kelompok [20]. ๐Ÿจ๐Ÿผ๐Ÿฏ

Tujuan dari permainan dapat dikategorikan  sebagai berikut yaitu :

a. Team Building ๐ŸŒน

Team building sangat cocok untuk pelatihan di mana peserta belajar bekerja sama  memecahkan  masalah, mengembangkan kohesi tim, membangun kepemimpinan, berempati terhadap orang lain, dan bertanggung jawab atas segala tindakan. Tanpa persaingan dalam kelompok maka kerjasama kelompok tidak akan kuat. Oleh karena itu, terciptanya suasana kompetitif antar kelompok  akan menimbulkan naluri  bersaing secara aktif.

b. Energizer ๐ŸŒน

Game akan membantu kita mengalihkan perhatian ketika suasana sudah jenuh dan membosankan dengan kata lain dapat menyegarkan suasana, Bermain dalam suasana yang menyenangkan dapat membantu mental kita kembali bersemangat. Dengan menciptakan suasana permainan yang menyenangkan, kita dapat mengembalikan semangat yang sempat memudar.

c. Ice Breaker๐ŸŒน

Saat melakukan aktivitas yang memerlukan konsentrasi tinggi, seperti: kegiatan belajar mengajar, pelatihan, dan pelantikan anggota baru seringkali menimbulkan suasana yang kaku dan kikuk. Hal ini terjadi karena gugup dan terlalu serius, ataukah bisa saja karena sebagian orang masih belum mengenal siapa orang disekitarnya. Dengan melakukan games di sela-sela kegiatan yang serius, umumnya suasana yang kaku bisa menjadi cair

d. Perception ๐ŸŒน

Persepsi mengacu pada pemahaman sesuatu berdasarkan proses mengidentifikasi objek. 

๐ŸŽ๐ŸŠ๐Ÿ‰Alam menawarkan banyak kemungkinan dalam hal ini. Kedekatan dengan alam terbukti bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental anak. Namun aktivitas psikomotorik biasanya berlangsung secara tertutup. Oleh karena itu timbul pertanyaan bagaimana konsep keterampilan psikomotorik dapat diterapkan pada kegiatan di luar ruangan untuk mengembalikan alam kepada anak.๐Ÿ‘ฆ๐Ÿ‘ง๐Ÿ‘ถ

๐Ÿ“ขDengan mempertimbangkan prinsip-prinsip diatas, beberapa rekomendasi diberikan di bawah ini : 

  1. Anak-anak merasa seperti mereka sendiri ketika mereka membangun pondok atau memanjat pohon; 
  2. Atribusi internal mungkin membutuhkan perhatian guru dan umpan balik; 
  3. Nilai moral sangat penting untuk environmentalisme dan perilaku yang sesuai di alam; dan 
  4. Anak-anak dapat mengambil tanggung jawab sosial, seperti membangun jembatan di atas landasan  [21].

Gambar 2. Contoh outdor activity yang dilakukan anak-anak

๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡Siswa perlu didorong dan diberdayakan agar lebih tangguh dalam menghadapi permasalahan dan tantangan  hidup. Institusi pendidikan tinggi perlu fokus pada hal ini karena hal ini berdampak pada keberhasilan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa membangun ketahanan dalam kehidupannya dan dipengaruhi secara positif oleh tindakan dan sikapnya [22]. Di luar, siswa menggali jauh ke dalam diri mereka untuk memahami manfaat aktivitas di luar ruangan dalam kehidupan mereka [23]. Dengan mengajarkan dan mempraktikkan keterampilan menyusun ulang dan berbicara pada diri sendiri, siswa merasakan manfaatnya jika memasukkannya ke dalam kehidupan sehari-hari dan cara mereka menghadapi masalah di dunia nyata. ๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜Ž


DAFTAR PUSTAKA

  1. H. Svobodovรก, D. Mรญsaล™ovรก, R. Durna, and E. Hofmann, “Geography Outdoor Education from the Perspective of Czech Teachers, Pupils and Parents,” J. Geog., vol. 119, no. 1, pp. 32–41, 2020, doi: 10.1080/00221341.2019.1694055.
  2. D. Y. Pyun, C. K. J. Wang, and K. T. Koh, “Testing a proposed model of perceived cognitive learning outcomes in outdoor education,” J. Adventure Educ. Outdoor Learn., vol. 20, no. 3, pp. 230–244, 2020, doi: 10.1080/14729679.2019.1660191.
  3. M. Legge, “Letting them go - outdoor education with/without the teacher educator,” J. Adventure Educ. Outdoor Learn., vol. 22, no. 1, pp. 1–11, 2022, doi: 10.1080/14729679.2020.1841661.
  4. J. Kennedy and C. Russell, “Hegemonic masculinity in outdoor education,” J. Adventure Educ. Outdoor Learn., vol. 21, no. 2, pp. 162–171, 2021, doi: 10.1080/14729679.2020.1755706.
  5. A. Kervinen, A. Uitto, and K. Juuti, “How fieldwork-oriented biology teachers establish formal outdoor education practices,” J. Biol. Educ., vol. 54, no. 2, pp. 115–128, 2020, doi: 10.1080/00219266.2018.1546762.
  6. E. Happ and M. Schnitzer, “Ski touring on groomed slopes: Analyzing opportunities, threats and areas of conflict associated with an emerging outdoor activity,” J. Outdoor Recreat. Tour., vol. 39, no. May, p. 100521, 2022, doi: 10.1016/j.jort.2022.100521.
  7. R. Steiger, A. Damm, F. Prettenthaler, and U. Prรถbstl-Haider, “Climate change and winter outdoor activities in Austria,” J. Outdoor Recreat. Tour., vol. 34, no. September 2020, 2021, doi: 10.1016/j.jort.2020.100330.
  8. P. A. Coventry et al., “Nature-based outdoor activities for mental and physical health: Systematic review and meta-analysis,” SSM - Popul. Heal., vol. 16, no. September, p. 100934, 2021, doi: 10.1016/j.ssmph.2021.100934.
  9. [A. K. Jansson et al., “Integrating smartphone technology, social support and the outdoor built environment to promote community-based aerobic and resistance-based physical activity: Rationale and study protocol for the ‘ecofit’ randomized controlled trial,” Contemp. Clin. Trials Commun., vol. 16, p. 100457, 2019, doi: 10.1016/j.conctc.2019.100457.
  10. Skalstad and E. Munkebye, “How to support young children’s interest development during exploratory natural science activities in outdoor environments,” Teach. Teach. Educ., vol. 114, p. 103687, 2022, doi: 10.1016/j.tate.2022.103687.
  11. M. Yoshimura, M. Nakamura, T. Hojo, A. Arai, and Y. Fukuoka, “The field study about the effects of artificial CO2-rich cool-water immersion after outdoor sports activity in a hot environment,” J. Exerc. Sci. Fit., vol. 21, no. 3, pp. 268–274, 2023, doi: 10.1016/j.jesf.2023.05.001.
  12. A. Corradini et al., “Effects of cumulated outdoor activity on wildlife habitat use,” Biol. Conserv., vol. 253, p. 108818, 2021, doi: 10.1016/j.biocon.2020.108818.
  13. Y. Kuang et al., “Association of outdoor activity restriction and income loss with patient-reported outcomes of psoriasis during the COVID-19 pandemic: A web-based survey,” J. Am. Acad. Dermatol., vol. 83, no. 2, pp. 670–672, 2020, doi: 10.1016/j.jaad.2020.05.018.
  14. L. G. Perez et al., “Does the social environment moderate associations of the built environment with Latinas’ objectively-measured neighborhood outdoor physical activity?,” Prev. Med. Reports, vol. 4, pp. 551–557, 2016, doi: 10.1016/j.pmedr.2016.10.006.
  15. Z. Liu, A. Kemperman, and H. Timmermans, “Social-ecological correlates of older adults’ outdoor activity patterns,” J. Transp. Heal., vol. 16, no. February, p. 100840, 2020, doi: 10.1016/j.jth.2020.100840.
  16. K. Green and K. Hardman, “Physical education: Essential issues,” Phys. Educ. Essent. Issues, pp. 1–248, 2005, doi: 10.4135/9781446215876.
  17. P. Lloyd, Rieber, “Seriously Considering Play: Designing Interactive Learning Environments Based on the Blending of Microworlds, Simulations, and Games,” Educ. Technol. Res. Dev., vol. 44, no. 2, pp. 43–58, 1996.
  18. A. Stavrianos and S. Pratt-Adams, “Representations of the Benefits of Outdoor Education for Students with Learning Disabilities: A Thematic Analysis of Newspapers,” Open J. Soc. Sci., vol. 10, no. 06, pp. 256–268, 2022, doi: 10.4236/jss.2022.106020.
  19. W. Zhang, “Analysis of Factors Affecting the Development of Competitive Level of Mountain Outdoor Sports,” Open J. Appl. Sci., vol. 02, no. 04, pp. 199–202, 2012, doi: 10.4236/ojapps.2012.24b045.
  20. J. Chen, “An Investigation on Safety Accidents in Outdoor Sports on the Perspective of Ethics in China,” Open J. Soc. Sci., vol. 06, no. 04, pp. 113–118, 2018, doi: 10.4236/jss.2018.64010.
  21. R. C. France, Introduction to physical education and sport science. 2009.
  22. M. Sugiyama et al., “Outdoor Play as a Mitigating Factor in the Association between Screen Time for Young Children and Neurodevelopmental Outcomes,” JAMA Pediatr., vol. 177, no. 3, pp. 303–310, 2023, doi: 10.1001/jamapediatrics.2022.5356.
  23. K. M. Hustyi, M. P. Normand, T. A. Larson, and A. J. Morley, “the Effect of Outdoor Activity Context on Physical Activity in Preschool Children,” J. Appl. Behav. Anal., vol. 45, no. 2, pp. 401–405, 2012, doi: 10.1901/jaba.2012.45-401.

11 PRINSIP LATIHAN OLAHRAGA

๐Ÿ’ฅ ๐Ÿ’ฅ ๐Ÿ’ฅ    11 PRINSIP LATIHAN OLAHRAGA    ๐Ÿ’ฅ ๐Ÿ’ฅ ๐Ÿ’ฅ A. Latihan๐Ÿ’ซ ๐Ÿƒ Training is a process by which an athlete is prepared for the highest ...

OnClickAntiAd-Block